Wajib Orang Tua Menafkahi Anaknya dan Anak Berbakti Pada Orang Tua


Tentunya sudah menjadi wajib untuk orang tua dalam mengurus anaknnya sampai anak itu dewasa. Dilansir dari hukumonlinecom, secara implisit ada di UU Perkawinan

Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
(1)  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)  Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Dapat diketahui bila anak masih bergantung dalam masalah penghidupannya atau belum menikah maka kewajiban orang tua membiayainya . Bila anak itu di terlantarkan maka bisa dipidana disebabkan mengerjakan hal itu.

Sebaliknya juga bila sang anak yang di biayai itu bertindak kasar sama orang tuannya, berbuat kekerasan yang mana berlawanan dengan hukum, maka hal itu pun bisa diancam dengan pidana maksimal tiga tahun atau atau denda maksimal sembilan juta rupiah (Pasal 45 ayat (1) UU PKDRT).

Kita dapat mengambil banyak pelajaran untuk membangun kehidupan yang lebih baik dimulai dari keluarga, antara orang tua dan anak. Yang mana orang tua harus mendidik dan memberikan nafkah anak sampai anak itu mampu untuk mandiri, sedangkan kewajiban anak untuk berbakti pada orang tuannya.

BATAS WAJIBNYA MEMBERI NAFKAH PADA ANAK

Selanjutnya terkait abatas waktu kasih nafkah pada anak itu hingga si anak telah sampai dewasa. Yang mana di dalam Islam hal itu atau si anak menginjak umur baligh (sekitar umur 14). Sementara dewasa pada ukuran negara dan KHI sampai menginjak umur 21.

PERMASALAHAN 1 : BILA ANAK DEWASA TAPI MISKIN

Kemudian muncul permasalahan bila si anak yang sudah dewasa itu miskin namun menurut fisik sehat, maka mayoritas ulama mempunyai pendapat tak wajib kasih nafkah sebab dinilai anak itu bisa mencari penghidupannya dengan bekerja. Namun sebagian lain berpendapat bahwa kasih nafkah masih merupakan kewajiban.

Selanjutnya bila anak itu fisiknya kurang atau cacat makan Ibnu Taimiyah berpendapat kewajiban membiayai terdapat pada bapak.

PERMASALAHAN 2 :  MEMBERI NAFKAH ANAK PEREMPUAN DEWASA

Terkait sang anak perempuan yang telah menginjak dewasa ini maka mayoritas ulama kini memandangnya wajib di kasih nafkah sampai anak perempuan itu menikah. Alasannya disebabkan anak perempuan tak bisa berbuata banyak untuk bekerja, serta kalaupun bisa bekerja bakal cenderung berakibat pada kemudharatan atau berakibat negatif.

Pandangan ini oleh madzhab Hanafi dalam Al-Mabsuth V/223, madzhab Maliki dalam Al-Mudawwanah II/263, madzhab Syafi'i dalam Al-Umm VII/340, dan madzhab Hanbali dalam Al-Mughni VIII/171. Lihat sumber Disini


PERMASALAHAN 3 : WAJIBKAH MANTAN SUAMI MENAFKAHI ANAK

Selanjutnya bagaimana bila kedua orang tua sudah bercerai, apakah sang ayah masih wajib menafkahi anaknya . Hal ini dijawab denga tidak langsung dalam al Quran, yang artinya berbunyi :

"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS ath-Thalaaq [65]: 6)

Dalam ayat itu dipastikan untuk mantan istri yang menyusui anak buah dari perkawinan dengan mantan suami, maka mantan suami itu wajib untuk kasih kasih imbalan, atau secara tak langsung kasih nafkah pada anaknya. Kepastian itu sekaligus pada keperluan pokok sang anak untuk tetap dibiayai sampai sang anak menginjak dewasa atau mampu membiayai penghidupannnya sendiri.
Bila sang mantan suami itu menelantarkan anak-anaknya sendiri maka hukumnya berdosa.

PERMASALAHAN 4 : BAGAIMANA LANGKAH HUKUM BILA MANTAN SUAMI MENOLAK MENAFKAHI

Pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 mengenai Akibat Perceraian, dijelaskan:
(b) Anak yang sudah mumayyiz (cukup umur, Red.) berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah (pengasuhan, Red.) dari ayah atau ibunya.
(d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut  dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
Menurut Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 mengenai Izin Perkawinan dan Perceraian untuk Pegawai Negeri Sipil, maka suami (mantan suami) wajib kasih separuh gajinya dalam kasih penghidupan pada bekas istri dan anak-anaknya. Besarnya gaji yang dikasih yaitu 1/3 untuk PNS pria yang bersangkutan, 1/3 untuk bekas istrinya, 1/3 untuk anak-anaknya. Jika melanggar aturan itu, maka menurut Pasal 16 PP No. 10 Tahun 1983, bakal diberikan sanksi disiplin berat.

Bila sang mantan suami menolak kasih nafkah, namun bukanlah PNS/Anggota TNI/Polri, menurut Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama, dapat mengajukan gugatan atas tak dipenuhinya tunjangan anak ke Pengadilan Agama di tempat tinggal.

Lebih Dalam Bisa Dibaca di Sumber Aslinya, klik Disini


PERMASALAHAN 5 : BILA SUAMI PELIT DALAM KASIH NAFKAH ISTRI DAN ANAK

Masih dalam ikatan perkawinan namun sang suami pelit untuk kasih nafkah, apa yang harus dilakukan istri ?. Bila kondisinya seperti ini, Islam membolehkan si istri untuk mengambil harta suaminya meskipun hal itu tidak dengan sepengetahuan suami, sehingga dengan harta itu bisa terpenuhi kebutuhan pokok untuk dirinya dan anak-anaknya. hal ini didasarkan hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ (رواه البخاري)
Dari ‘Aisyah ra telah berkata Hindun ibunya Mu’awiyah kepada Rasulullah saw : sungguh Abu Sufyan itu adalah laki-laki yang pelit (bakhil), lalu apakah tidak dosa bagi saya mengambil dari harta dia secara diam-diam? Beliau menjawab : ambillah olehmu dan anakmu sejumlah harta yang akan mencukupi kebutuhanmu dengan sempurna (HR Bukhari)

*Mudah-mudahan bermanfaat dan apabila terdapat kesalahan, mohon di koreksi


0 komentar:

Posting Komentar